Film :
Posesif
Tanggal Rilis :26 Oktober 2017
Perusahaan Produksi : Palari Films
Durasi :
102 menit
Bahasa :
Bahasa Indonesia
Sutradara :
Edwin
Produser :
Meske Taurisia
Muhammad
Zaidy
Penulis : Gina S. Noer
Pemeran :
Putri Marino
Adipati
Dolken
Gritte
Agatha
Chicco
Kurniawan
Yayu
A.W Unru
Cut
Mini Theo
Musik : Mar Galo
Dave Lumenta
Penyunting :
W. Ichwan Diardono
Sinematografi :
Batara Goempar Siagian
SINOPSIS
Tidak butuh waktu lama untuk Posesif
menyatukan Lala (Putri Marino) dan Yudhis (Adipati Dolken). Sosok Lala—sebagai
seorang atlet loncat indah yang mewakili Jakarta di PON—sudah Yudhis dengar
dari keramaian yang ditimbulkan Ega (Gritte Agatha). Dari Ega pula, Lala
kemudian mengenal sosok Yudhis—seorang anak baru yang ganteng.
Romansa mereka bermula di ruang guru.
Lala, yang absen sekolah karena mengikuti ajang PON, harus berada di sana untuk
mengejar pelajaran. Sementara Yudhis, sebagai siswa baru yang belum paham
aturan sekolah, berada di sana untuk mengambil sepatunya yang disita—perwujudan
pertama dari sifat posesifnya Yudhis adalah terhadap sepatunya.
Keduanya terlibat dalam interaksi
tolong-menolong. Yudhis membantu Lala menjawab soal, dan Lala membantu Yudhis
mengambil sepatu. Sayangnya kolaborasi itu ketahuan Pak Guru. Jadilah mereka
dihukum berjalan di tengah lapangan dalam kondisi sepatu terikat satu sama
lain—perwujudan pertama dari ikatan antara Lala dan Yudhis.
Pak Guru menyarankan kepada mereka,
bilamana mau kerja sama, haruslah total. Jeng jeng. Totalitas itu berujung
jadian. Yudhis adalah cinta pertama Lala, dan Yudhis ingin itu berlangsung
selamanya.
Dansa Tak Berirama
Dalam Posesif, kata “selamanya”
bermakna ganda. Pertama, “selamanya” sebagai sebuah bualan remaja naif; kedua,
“selamanya” sebagai ikrar kesetiaan yang tak bisa dan tak boleh ditawar.
Sepanjang film, dua makna itu saling
tumpang tindih, sehingga membuat kedua tokoh terlihat menghidupi relasi yang
tidak sehat. Yudhis menyakiti orang-orang yang ia anggap merusak “selamanya”.
Tidak terkecuali bila orang itu Lala, tidak terkecuali bila orang itu dirinya
sendiri.
Hubungan Yudhis dan Lala bagaikan
dansa tak berirama. Tak ada koordinasi, tak ada negosiasi. Yang ada hanyalah
intimidasi. Ketiadaan kabar berujung bentakan. Ucapan dari mulut dibalas
tangan.
Dinamika pasangan yang demikian
mungkin tidak asing kita dengar. Namun, meski sudah cukup tajam menggambarkan
kekerasan dalam pacaran, Posesif ternyata ingin beranjak lebih jauh. Edwin dan
kawan-kawan selaku pembuat film coba menarik korelasi antara perilaku Yudhis
dengan latar belakang keluarganya. Yudhis digambarkan sebagai korban kekerasan
dari ibunya, dan Lala ada di sana untuk menolongnya.
Keputusan pembuat film untuk membuat
Lala menolong Yudhis jelas tidak salah. Namun, tampak bahwa proses Lala
memaafkan Yudhis, sampai kemudian terdorong untuk mengunjunginya lagi, kurang
kuat digambarkan. Proses memaafkan hanya tersirat dari ekspresi Lala saat
melihat pernak-pernik penguin.
Perkataan Ega, yang menyebutkan bahwa
menolong Yudhis bukan tanggung jawab Lala, pun tidak Lala balas dengan argumen
yang sepadan. Sementara yang tersisa lainnya paling hanya hal-hal simbolik yang
lebih menawarkan rasa ketimbang logika cerita. Misalnya rubik yang Yudhis
mainkan, yang bisa jadi sebagai metafor dari sosoknya yang rumit dan harus
“dipecahkan”; serta penguin yang Lala sukai, yang seakan mewakili sifat Lala
yang hanya setia sama satu pasangan seperti penguin.
Menjadi masuk akal bila kemudian ada
orang yang berkata bahwa film ini terkesan ingin mengajak penontonnya untuk
memahami pelaku kekerasan, ketimbang menghindar atau melaporkan. Sebab opsi
soal menghindar atau melaporkan memang tidak disinggung secara cukup oleh film.
Sementara, untuk membuat opsi “kembali ke Yudhis” terasa logis, paling tidak
film perlu menunjukkan pertimbangan opsi-opsi lain yang juga tak kalah memungkinkannya
untuk Lala lakukan.
Tentunya, ini bukan masalah yang mana
yang lebih tepat untuk ditampilkan ke khalayak. “Lala kembali ke Yudhis” akan
tepat-tepat saja selama ditunjang dengan penceritaan yang mumpuni. Bukankah
dibekapnya McMurphy di One Flew Over the Cuckoo’s Nest dan Anne di Amour pakai
bantal sampai meninggal terasa tepat-tepat saja?
Remaja dan Rumah
Posesif
memang mengangkat soal kekerasan dalam berpacaran. Tapi, pada saat yang
bersamaan, harus dipahami pula bahwa film ini berisikan tokoh-tokoh yang masih
SMA. Sah-sah saja bila kemudian film ini lebih banyak mengeksplorasi soal dunia
remaja, ketimbang dunia kekerasan dalam pacaran.
Remaja, sekalipun sudah mulai terpapar
oleh nilai-nilai dari luar, adalah fase yang masih belum bisa terlepas dari
rumahnya. Posesif
berpegang pada hal ini. Kita tentu ingat perseteruan yang menjadi puncak
perpecahan Yudhis dan Lala. Saat itu keduanya sama-sama mempertahakan pilihan
kampus masing-masing. Namun pilihan kampus itu bukan mewakili minat keilmuan
mereka, melainkan mewakili keterikatan mereka dengan “rumah” masing-masing.
Peran rumah itu tak hanya berlaku
untuk kampus, tapi semua hal. Ketika Posesif masuk ke pembahasan soal
kekerasan dalam pacaran, kondisi rumah Yudhis adalah bagian yang tak
terlepaskan. “Ayah saja tidak pernah mukul kamu,” kata ayah Lala (Yayu Unru)
saat tahu anaknya dicekik. Tentu. Tapi pelakunya, Yudhis, sering dipukul
ibunya. Dan bukankah budaya kekerasan itu hidupnya memang ada di pelaku, bukan
(atau belum) di korban?
Hal serupa tampak saat Yudhis berkata
kepada ayahnya Lala. Sambil makan bareng, Yudhis berkata bahwa ia ingin serius
dengan Lala. Ayah Lala justru menyuruh Yudhis berdiskusi dengan ayahnya. Tapi
di situlah masalahnya, Ayah Yudhis absen. Tidak ada perspektif orang dewasa yang
bisa mendudukkan perkara Yudhis dalam gambaran yang lebih besar. Yang ada
hanyalah perspektif ibu kejam, yang memaksakan pandangan bahwa dirinya telah
memberikan segalanya untuk Yudhis.
Pada akhirnya, pertemuan Lala dan
Yudhis adalah pertemuan dua rumah yang berbeda. Sebagai remaja, Yudhis dan Lala
pun belum memiliki cukup daya untuk menampiknya. Seperti cangkang kura-kura,
pengalaman dan nilai-nilai yang dipelajari di lingkungan terkecilnya tersebut
mereka bawa ke manapun mereka pergi. Rumah menjadi sesuatu yang menempel pada
diri mereka. Mereka bisa lari sejauh apapun, tapi bagi Lala dan Yudhis, rumah
hanya bisa ditinggalkan, belum bisa ditanggalkan.
NAMA : OKTAMI SIERA CITATA
NPM : 01.16.038
TUGAS PENULISAN KREATIF RESENSI FILM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar